Teknologi Nuklir Dalam Pengendalian Vektor Penyakit Malaria
Penyakit malaria
merupakan penyakit yang sampai saat ini masih menjadi masalah utama
kesehatan masyarakat di dunia dan Indonesia khususnya yang belum bisa
ditangani secara tuntas. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi parasit
Plasmodium sp yang disebarkan oleh nyamuk betina Anopheles sp dan
ditularkan dari orang sakit ke orang yang sehat melalui gigitan nyamuk
tersebut sebagai vektor malaria . Tercatat ada 4 spesies parasit
penyebab malaria yaitu Plasmodium ovale, Plasmodium malariae, Plasmodium
vivax dan Plasmodium falciparum. Yang terakhir ini yang paling ganas,
karena dapat menyebabkan kematian, terutama pada anak-anak dibawah usia
lima tahun. Parasit yang ditularkan lewat nyamuk biasanya masuk ke hati
dan berubah menjadi merozoites, masuk ke aliran darah, menginfeksi sel
darah merah dan berkembang biak. Gejala tiap jenis malaria biasanya
berupa meriang, panas dingin menggigil dan keringat dingin. Dalam
beberapa kasus yang tidak disertai pengobatan, gejala-gejala ini muncul
kembali secara periodik.
Jenis malaria yang paling ringan adalah malaria Tertiana yang disebabkan oleh Plasmodium vivax, dengan gejala demam yang dapat terjadi setiap dua hari sekali setelah gejala pertama terjadi (dapat terjadi selama 2 minggu setelah infeksi). Demam rimba (jungle fever), malaria aestivo-autumnal atau disebut juga malaria tropika, disebabkan oleh Plasmodium falciparum merupakan penyebab sebagian besar kematian akibat malaria. Organisme bentuk ini sering menghalangi jalan darah ke otak, menyebabkan koma, mengigau serta kematian.
Malaria kuartana yang disebabkan oleh Plasmodium malariae, memiliki masa inkubasi lebih lama dari pada penyakit malaria tertiana atau tropika; gejala pertama biasanya tidak terjadi antara 18-40 hari setelah infeksi terjadi. Gejala tersebut kemudian akan terulang kembali setiap 3 hari dan ini merupakan jenis malaria yang paling jarang ditemukan, disebabkan oleh Plasmodium ovale dan mirip dengan malaria teriana. Pada masa inkubasi malaria, protozoa tumbuh di dalam sel hati; beberapa hari sebelum gejala pertama terjadi, kemudian organisme tersebut menyerang dan menghancurkan sel darah merah dan menyebabkan demam pada penderita.
PREVALENSI MALARIA DI INDONESIA
Penyakit malaria tidak hanya menyerang daerah tropis, tetapi juga menyerang daerah sub tropis di seluruh dunia [2]. Kematian banyak terjadi pada negara-negara yang menjadi daerah endemik malaria, antara lain negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia, terutama di Propinsi bagian timur seperti daerah pedesaan di luar Jawa dan Bali. Di Jawa Tengah dan Jawa Barat, malaria merupakan penyakit yang muncul kembali (re-emerging diseases). Menurut data dari fasilitas kesehatan DEPKES pada tahun 2001 diperkirakan prevalensi malaria adalah 850,2 per 100.000 penduduk dengan angka yang tertinggi 20% di Gorontalo, 13% di NTT dan 10% di Papua.
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 memperkirakan angka kematian spesifik akibat malaria di Indonesia adalah 11 per 100.000 untuk laki-laki dan 8 per 100.000 untuk perempuan [3]. Sebagai negara endemik, malaria di Indonesia sering diidap oleh para penduduk yang tinggal di areal persawahan dekat dengan hutan. Selain itu, menurut Departemen Kesehatan RI (1994), peningkatan kasus malaria pertahun yang terjadi di daerah timur akibat adanya pembukaan daerah baru. Pada tahun 1998 dan 1999 di beberapa daerah, yakni Sumatera, Yogyakarta, Jawa Tengah, Lampung terjadi peristiwa penyebaran malaria secara besar-besaran.
Sebanyak 21 orang meninggal dunia pada peristiwa tersebut, dari 18.812 kasus yang telah dilaporkan. Selain itu sekitar 10.000 orang terjangkit malaria di Banyumas, Jawa Tengah [4]. Antara tahun 1986-1995 angka Anual Parasite Incidence (API) di Purworejo, Jawa Tengah berkisar antara –11 kasus per 1000 penduduk dalam satu tahun, dari yang biasanya hanya 5 kasus pertahun. Dan pada tahun 2000 jumlah API pada wilayah tersebut menjadi 44,5%. Wabah malaria bisa terjadi/muncul karena berbagai pengaruh antara lain faktor lingkungan, faktor nyamuk sebagai vektor penyebab malaria dan faktor genetik dari parasit malaria itu sendiri [5].
Departemen Kesehatan Republik Indonesia melaporkan 5 juta penduduk menderita malaria di seluruh wilayah Indonesia dan lebih kurang 700 orang meninggal dunia setiap tahunnya. Program pemberantasan penyakit malaria selain dengan cara pengobatan terhadap penderita, dilakukan pula dengan cara memberantas vektornya.
Dengan demikian pemberantasan vektor merupakan usaha yang penting di dalam pemberantasan penyakit malaria ini. Tingginya angka kesakitan dan kematian akibat malaria ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti perubahan cuaca dan lingkungan yang dapat merupakan tempat berkembang biaknya vektor malaria, resistensi vektor terhadap insektisida, resistensi parasit terhadap berbagai obat anti malaria serta mobilitas penduduk dari dan ke daerah endemi malaria. Kematian akibat malaria banyak disebabkan oleh lingkungan yang sesuai untuk penyebaran parasit dan sudah resistennya Plasmodium falciparum terhadap obat anti malaria yang sering digunakan.
Penyebaran resistensi malaria disebkan adanya perpindahan penduduk dari daerah endemik menuju ke daerah yang baru, sedangkan kasus resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin di Indonesia seperti yang dilaporkan sudah menyebar sampai 27 Propinsi di Indonesia. Selain menimbulkan kematian, penyakit ini juga dapat menyebabkan kerusakan pada organ-organ dalam. Kerusakan tersebut antara lain tejadi pada selaput otak dan terjadinya hemoragi pada daerah serebrum.
Terjadinya Black-water fever akibat adanya hemolisis intravaskuler yang kemudian diikuti oleh hemoglobinuria. Selain itu masih seringnya terjadi peristiwa relapse (kekambuhan) dan reinfeksi (infeksi ulang) pada penyakit ini.
PEMBERANTASAN MALARIA
Pemberantasan malaria di Indonesia merupakan bagian dari program pemberantasan penyakit tular vektor yang hingga saat ini masih bermasalah karena belum bisa ditangani dengan tuntas. Hal tersebut ditandai dengan masih dijumpainya kejadian malaria baik di Jawa maupun di luar Jawa, bahkan di beberapa daerah dilaporkan adanya kejadian luar biasa malaria. Upaya pemberantasan malaria telah lama dilakukan, namun hasilnya masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Kendala umum yang dijumpai dalam pemberantasan malaria ini antara lain disamping kualitas pemberantasan khususnya dalam penyemprotan rumah belum sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan, juga upaya pemberantasan belum didasarkan pada pengetahuan bionomik vektornya sehingga tindakan yang dilakukan tidak efektif dan efisien dan belum tepat sasaran, belum tepat waktu dan cara, jenis dan dosis insektisida juga tidak tepat [5,6].
Berbagai kegiatan yang sudah dilakukan untuk mengurangi insiden malaria adalah sbb :
Pemberatasan penyakit malaria juga dapat dilakukan dengan cara penyuluhan kebersihan lingkungan, penyemprotan dengan insektisida, pengobatan terhadap penderita dengan berbagai obat malaria dan penanggulangan terhadap vektornya (nyamuk). Obat malaria yang sering diberikan kepada penderita banyak macamnya seperti kelompok standar (klorokuin, kina, primakuin dan sulfadoksin-pirimetamin), kelompok kuinolin, kelompok anti-folat dan kelompok baru (artemisinin, lumefantrin, atovakuon, tafenokuin, pironaridin, piperakuin, WR99210 dan antibiotik). Penggunaan obat yang berlebihan dan tidak tepat pada pengobatan malaria klinis akan menyebabkan terjadinya resistensi obat[7]. Karena upaya pemberantasan malaria belum memberikan hasil maksimal maka perlu ada cara lain untuk membantu program pemberantasan malaria ini yaitu dengan pengendalian vektor mengunakan Teknik Serangga Mandul (TSM) atau Teknik Jantan Mandul (TJM).
TEKNOLOGI NUKLIR UNTUK PENGENDALIAN VEKTOR PENYAKIT
Teknologi nuklir merupakan salah satu teknologi yang mengalami kemajuan pesat dalam pemanfaatannya pada berbagai sektor seperti bidang pertanian dan kesehatan. Teknologi nuklir adalah teknologi yang memanfaatkan radiasi / radioisotop untuk memecahkan masalah melalui penelitian dan pengembangan di berbagai bidang, khususnya bidang kesehatan. Teknik ini memiliki banyak keunggulan karena isotop radioaktif yang digunakan memiliki sifat kimiawi dan sifat fisis yang sama denga zat kimia biasa/non radioaktif namun mempunyai kelebihan sifat fisis yaitu dapat memancarkan radiasi [8].
Radiasi gamma, netron dan sinar X dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama dan vektor penyakit, yaitu dapat digunakan untuk membunuh secara langsung (direct killing) dengan teknik disinfestasi radiasi dan secara tidak langsung (indirect killing) yang dikenal dengan teknik serangga mandul (TSM). Teknik ini relatif baru dan potensial untuk pengendalian vektor malaria karena ramah lingkungan, efektif spesies dan kompartibel dengan teknik lain. Prinsip dasar TSM sangat sederhana yaitu membunuh serangga dengan serangga itu sendiri (autodical technique).
Teknik ini meliputi radiasi koloni vektor / serangga di laboratorium dengan berbagai dosis, kemudian secara periodik dilepas ke lapang sehingga tingkat kebolehjadian perkawinan antara serangga mandul dengan serangga vertil menjadi semakin besar dari generasi pertama ke generasi berikutnya, yang berakibat makin menurunnya persentase fertilitas populasi vektor di lapang yang secara teoritis pada generasi ke-4 akan mencapai titik terendah menjadi 0% atau jumlah populasi serangga pada generasi ke-5 menjadi nihil [9]. Selain digunakan untuk dalam pemandulan vektor, teknik nuklir juga bisa digunakan sebagai penanda vektor. Karena salah satu sifat radioisotop (seperti P-32) dapat memancarkan sinar radioaktif, sehingga dipakai sebagai penanda nyamuk Anopheles sp. di lapangan, sementara cara penandaan dengan teknik lain dianggap sangat suilit mengingat tubuh nyamuk terlalu rapuh serta stadium larva dan pupa yang hidup di air.
Penandaan serangga dianggap penting terutama utuk mempelajari bionomik nyamuk di lapangan, seperti jarak terbang, pola pemencaran, umur nyamuk, pemilihan hospes, siklus gonotrofi dan aspek bionomik yang lain.
Pelaksanaan TSM dapat dilakukan dengan 2 metoda [10] yaitu:
1. Metoda yang meliputi pembiakan massal di laboratorium, pemandulan dan pelepasan serangga mandul ke lapangan.
2. Metoda pemandulan langsung terhadap serangga di lapangan.
Metoda pertama menerangkan bahwa jika ke dalam suatu populasi serangga di lapangan dilepaskan serangga mandul, maka kemampuan populasi tersebut untuk berkembang biak akan menurun. Apabila nilai kemandulan serangga radiasi mencapai 100% dan daya saing kawinnya mencapai nilai 1,0 (sama dengan jantan normal) dan jumlah serangga radiasi yang dilepas sama dengan jumlah serangga normal (perbandingan 1:1), maka kemampuan berkembang biak populasi tersebut akan turun sebesar 50%. Jika perbandingan tersebut dinaikkan menjadi 9:1 (jumlah serangga radiasi yang dilepas 9 kali dari jumlah serangga lapangan), maka kemampuan populasi tersebut untuk berkembang biak akan turun sebesar 90%.
Metoda kedua, yaitu metoda tanpa pelepasan serangga yang dimandulkan. Metoda ini dilaksanakan dengan prinsip pemandulan langsung terhadap serangga lapangan yang dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa kemosterilan, baik pada jantan maupun betina. Dengan metoda kedua ini akan diperoleh dua macam pengaruh terhadap kemampuan kembangbiak populasi serangga. Kedua pengaruh tersebut adalah mandulnya sebagian serangga lapangan sebagai akibat langsung dari kemosterilan dan pengaruh berikutnya dari serangga yang telah mandul terhadap serangga sisanya yang masih fertil. Kemosterilan merupakan senyawa kimia yang bersifat mutagenik dan karsinogenik pada hewan maupun manusia sehingga teknologi ini tidak direkomendasikan untuk pengendalian vektor.
Pengendalian vektor dengan cara konvensional menggunakan insektisida diketahui kurang efektif karena timbul fenomena resisitensi bahkan sering terjadi resistensi silang (cross resistancy) dan mengakitkan matinya flora maupun fauna non target, serta menimbulkan pencemaran kingkungan., sehingga mengurangi efektivitas pengendalian itu sendiri.
TEKNOLOGI NUKLIR UNTUK PEMANDULAN VEKTOR MALARIA
Salah satu cara pemandulan nyamuk/vektor adalah dengan cara radiasi ionisasi yang dikenakan pada salah satu stadium perkembangannya. Radiasi untuk pemandulan ini dapat menggunakan sinar gamma, sinar X atau neutron, namun dari ketiga sinar tersebut yang umum digunakan adalah sinar gamma. Sinar gamma dapat berasal dari Cobalt-60 yang mempunyai waktu paroh 3,5 tahun atau 137Cs dengan waktu paroh 30 tahun [11].
Untuk mendapatkan vektor mandul dengan radiasi maka perlakuan iradiasi paling tepat dilakukan pada stadium pupa, karena stadium ini merupakan tahap perkembangan dimana terjadi transformasi organ muda menjadi dewasa [12]. Kemandulan adalah ketidakmampuan suatu organisme untuk menghasilkan keturunan.
Gejala-gejala kemandulan akibat radiasi pada vektor dapat berupa:
Prinsip dasar mekanisme kemandulan ini untuk selanjutnya dikembangkan sebagai dasar pengembangan teknik pengendalian vektor yang disebut Teknik Serangga Mandul.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa teknik nuklir sangat bermanfaat dalam pengendalian vektor penyakit malaria dengan Teknik Serangga Mandul dan merupakan teknik pengendalian yang sangat spesifik karena hanya berpengaruh pada spesies target, ramah lingkungan, tidak menimbulkan resistensi baik obat malaria maupun pestisida.
TSM merupakan merupakan teknik pengendalian vektor yang sangat efektif dan efisien, baik secara sendiri maupun terintregasi dengan teknik lain dan dalam pelaksanaannya akan lebih baik bila dikombinasikan dengan teknik pengendalian yang lain secara terpadu.
Oleh:
Siti Nurhayati
Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi – BATAN
Jalan Cinere Pasar Jumat, Jakarta – 12440
PO Box 7043 JKSKL, Jakarta – 12070
DAFTAR PUSTAKA
1. HARIJANTO, P.N., Malaria: Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi klinis dan Penanganan, EGC, 2000.
2. Molineaux L. The Epidemiology of Human Malaria as an explanation of its distribution, including some implications for its control. In: Wernsdorfer WH and Mc Gregor IA (eds) Principles and Practice of Malariology. Edinburgh: Churchill Livingstone, 1988 (II) : 913-989.
3. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 UNICEF Indonesia 2000, Multiple Indicator Cluster Survey Report on the Education and Health of Mothers and Children.
4. Arbani, P.R. Rencana Pemberantasan Malaria di Indonesia Menjelang Tahun 2000. Kumpulan Makalah Simposium Malaria, Jakarta Simposium Malaria, Jakarta:Balai Penerbit FKUI, 1990.
5. Pedoman Survei Entomologi Malaria. DEPKES-RI. Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Dit.Jen.PPM&PL) 2001.
6. Pengembangan Gebrak Malaria di Indonesia : Rencana Strategis 2001-2005 berdasarkan 46.2 persen dari jumlah penduduk 1998
7. World Health Organization. The Use of Antimalarial Drugs. Report of a WHO Informal Consultation 13-17 November 2000. WHO/CDS/RBM/2001.33. Geneva. 2001a.
8. SUTRISNO, S. Status dan Pengembangan Teknik Nuklir untuk Pengendalian Hama di Indonesia. Buletin Batan. Nuklir Mengabdi Kemanusiaan. Badan Tenaga Nuklir Nasional 2004
9. La-CHANGE, L.E., SCHMITH, CH. and BUSHILAND, R.C., Radiation Induced Sterilization. Dalam: Kilgore, W.W., and Dout R.L. Pest Control : Biological and Physical and Selected Chemical Methods., hal 146-196. Academic Press, New York &
London, 1997.
10. KNIPLING, E.F., Possibilities of Insect Control or Eradication Through the Use of Sexuality Sterile, J. Econ. Entomol. 48, 459-462, 1955.
11. WHITE, R.D., KAMASKI, H., RALSTON, D.F., HUTT, R.B and PETERSON, H.D.V. Longevity and Reproduction of Codling Moth Irradiated with Cobalt-60 or Cesium 137. J. Econ. Entomol. 65, 692 – 697, 1972.
12. HOPER, G.H.S., Competitiveness of Gamma Sterilized Males of the Mediteranian Fruit Fly : Effect of Irradiating Pupae or Adult Stage and of Irradiating Pupae in Nitrogen. J. Econ. Entomol., 64, 464 -368, 1976.
Jenis malaria yang paling ringan adalah malaria Tertiana yang disebabkan oleh Plasmodium vivax, dengan gejala demam yang dapat terjadi setiap dua hari sekali setelah gejala pertama terjadi (dapat terjadi selama 2 minggu setelah infeksi). Demam rimba (jungle fever), malaria aestivo-autumnal atau disebut juga malaria tropika, disebabkan oleh Plasmodium falciparum merupakan penyebab sebagian besar kematian akibat malaria. Organisme bentuk ini sering menghalangi jalan darah ke otak, menyebabkan koma, mengigau serta kematian.
Malaria kuartana yang disebabkan oleh Plasmodium malariae, memiliki masa inkubasi lebih lama dari pada penyakit malaria tertiana atau tropika; gejala pertama biasanya tidak terjadi antara 18-40 hari setelah infeksi terjadi. Gejala tersebut kemudian akan terulang kembali setiap 3 hari dan ini merupakan jenis malaria yang paling jarang ditemukan, disebabkan oleh Plasmodium ovale dan mirip dengan malaria teriana. Pada masa inkubasi malaria, protozoa tumbuh di dalam sel hati; beberapa hari sebelum gejala pertama terjadi, kemudian organisme tersebut menyerang dan menghancurkan sel darah merah dan menyebabkan demam pada penderita.
PREVALENSI MALARIA DI INDONESIA
Penyakit malaria tidak hanya menyerang daerah tropis, tetapi juga menyerang daerah sub tropis di seluruh dunia [2]. Kematian banyak terjadi pada negara-negara yang menjadi daerah endemik malaria, antara lain negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia, terutama di Propinsi bagian timur seperti daerah pedesaan di luar Jawa dan Bali. Di Jawa Tengah dan Jawa Barat, malaria merupakan penyakit yang muncul kembali (re-emerging diseases). Menurut data dari fasilitas kesehatan DEPKES pada tahun 2001 diperkirakan prevalensi malaria adalah 850,2 per 100.000 penduduk dengan angka yang tertinggi 20% di Gorontalo, 13% di NTT dan 10% di Papua.
Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 memperkirakan angka kematian spesifik akibat malaria di Indonesia adalah 11 per 100.000 untuk laki-laki dan 8 per 100.000 untuk perempuan [3]. Sebagai negara endemik, malaria di Indonesia sering diidap oleh para penduduk yang tinggal di areal persawahan dekat dengan hutan. Selain itu, menurut Departemen Kesehatan RI (1994), peningkatan kasus malaria pertahun yang terjadi di daerah timur akibat adanya pembukaan daerah baru. Pada tahun 1998 dan 1999 di beberapa daerah, yakni Sumatera, Yogyakarta, Jawa Tengah, Lampung terjadi peristiwa penyebaran malaria secara besar-besaran.
Sebanyak 21 orang meninggal dunia pada peristiwa tersebut, dari 18.812 kasus yang telah dilaporkan. Selain itu sekitar 10.000 orang terjangkit malaria di Banyumas, Jawa Tengah [4]. Antara tahun 1986-1995 angka Anual Parasite Incidence (API) di Purworejo, Jawa Tengah berkisar antara –11 kasus per 1000 penduduk dalam satu tahun, dari yang biasanya hanya 5 kasus pertahun. Dan pada tahun 2000 jumlah API pada wilayah tersebut menjadi 44,5%. Wabah malaria bisa terjadi/muncul karena berbagai pengaruh antara lain faktor lingkungan, faktor nyamuk sebagai vektor penyebab malaria dan faktor genetik dari parasit malaria itu sendiri [5].
Departemen Kesehatan Republik Indonesia melaporkan 5 juta penduduk menderita malaria di seluruh wilayah Indonesia dan lebih kurang 700 orang meninggal dunia setiap tahunnya. Program pemberantasan penyakit malaria selain dengan cara pengobatan terhadap penderita, dilakukan pula dengan cara memberantas vektornya.
Dengan demikian pemberantasan vektor merupakan usaha yang penting di dalam pemberantasan penyakit malaria ini. Tingginya angka kesakitan dan kematian akibat malaria ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti perubahan cuaca dan lingkungan yang dapat merupakan tempat berkembang biaknya vektor malaria, resistensi vektor terhadap insektisida, resistensi parasit terhadap berbagai obat anti malaria serta mobilitas penduduk dari dan ke daerah endemi malaria. Kematian akibat malaria banyak disebabkan oleh lingkungan yang sesuai untuk penyebaran parasit dan sudah resistennya Plasmodium falciparum terhadap obat anti malaria yang sering digunakan.
Penyebaran resistensi malaria disebkan adanya perpindahan penduduk dari daerah endemik menuju ke daerah yang baru, sedangkan kasus resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin di Indonesia seperti yang dilaporkan sudah menyebar sampai 27 Propinsi di Indonesia. Selain menimbulkan kematian, penyakit ini juga dapat menyebabkan kerusakan pada organ-organ dalam. Kerusakan tersebut antara lain tejadi pada selaput otak dan terjadinya hemoragi pada daerah serebrum.
Terjadinya Black-water fever akibat adanya hemolisis intravaskuler yang kemudian diikuti oleh hemoglobinuria. Selain itu masih seringnya terjadi peristiwa relapse (kekambuhan) dan reinfeksi (infeksi ulang) pada penyakit ini.
PEMBERANTASAN MALARIA
Pemberantasan malaria di Indonesia merupakan bagian dari program pemberantasan penyakit tular vektor yang hingga saat ini masih bermasalah karena belum bisa ditangani dengan tuntas. Hal tersebut ditandai dengan masih dijumpainya kejadian malaria baik di Jawa maupun di luar Jawa, bahkan di beberapa daerah dilaporkan adanya kejadian luar biasa malaria. Upaya pemberantasan malaria telah lama dilakukan, namun hasilnya masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Kendala umum yang dijumpai dalam pemberantasan malaria ini antara lain disamping kualitas pemberantasan khususnya dalam penyemprotan rumah belum sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan, juga upaya pemberantasan belum didasarkan pada pengetahuan bionomik vektornya sehingga tindakan yang dilakukan tidak efektif dan efisien dan belum tepat sasaran, belum tepat waktu dan cara, jenis dan dosis insektisida juga tidak tepat [5,6].
Berbagai kegiatan yang sudah dilakukan untuk mengurangi insiden malaria adalah sbb :
- Mengindari atau mengurangi kontak/gigitan nyamuk anopheles (memakai kelambu, repelen, obat nyamuk dll).
- Membunuh nyamuk dewasa menggunakan berbagai insektisida.
- Membunuh jentik/kegiatan anti larva, baik secara kimiawi dengan larvasida maupun biologik dengan ikan, tumbuhan, jamur dan bakteri.
- Mengurangi tempat perindukan (source reduction).
- Mengobati penderita malaria.
- Pemberian pengobatan untuk pencegahan (profilaksis).
- Vaksinasi (masih dalam tahap riset dan clinical trial).
Pemberatasan penyakit malaria juga dapat dilakukan dengan cara penyuluhan kebersihan lingkungan, penyemprotan dengan insektisida, pengobatan terhadap penderita dengan berbagai obat malaria dan penanggulangan terhadap vektornya (nyamuk). Obat malaria yang sering diberikan kepada penderita banyak macamnya seperti kelompok standar (klorokuin, kina, primakuin dan sulfadoksin-pirimetamin), kelompok kuinolin, kelompok anti-folat dan kelompok baru (artemisinin, lumefantrin, atovakuon, tafenokuin, pironaridin, piperakuin, WR99210 dan antibiotik). Penggunaan obat yang berlebihan dan tidak tepat pada pengobatan malaria klinis akan menyebabkan terjadinya resistensi obat[7]. Karena upaya pemberantasan malaria belum memberikan hasil maksimal maka perlu ada cara lain untuk membantu program pemberantasan malaria ini yaitu dengan pengendalian vektor mengunakan Teknik Serangga Mandul (TSM) atau Teknik Jantan Mandul (TJM).
TEKNOLOGI NUKLIR UNTUK PENGENDALIAN VEKTOR PENYAKIT
Teknologi nuklir merupakan salah satu teknologi yang mengalami kemajuan pesat dalam pemanfaatannya pada berbagai sektor seperti bidang pertanian dan kesehatan. Teknologi nuklir adalah teknologi yang memanfaatkan radiasi / radioisotop untuk memecahkan masalah melalui penelitian dan pengembangan di berbagai bidang, khususnya bidang kesehatan. Teknik ini memiliki banyak keunggulan karena isotop radioaktif yang digunakan memiliki sifat kimiawi dan sifat fisis yang sama denga zat kimia biasa/non radioaktif namun mempunyai kelebihan sifat fisis yaitu dapat memancarkan radiasi [8].
Radiasi gamma, netron dan sinar X dapat dimanfaatkan untuk pengendalian hama dan vektor penyakit, yaitu dapat digunakan untuk membunuh secara langsung (direct killing) dengan teknik disinfestasi radiasi dan secara tidak langsung (indirect killing) yang dikenal dengan teknik serangga mandul (TSM). Teknik ini relatif baru dan potensial untuk pengendalian vektor malaria karena ramah lingkungan, efektif spesies dan kompartibel dengan teknik lain. Prinsip dasar TSM sangat sederhana yaitu membunuh serangga dengan serangga itu sendiri (autodical technique).
Teknik ini meliputi radiasi koloni vektor / serangga di laboratorium dengan berbagai dosis, kemudian secara periodik dilepas ke lapang sehingga tingkat kebolehjadian perkawinan antara serangga mandul dengan serangga vertil menjadi semakin besar dari generasi pertama ke generasi berikutnya, yang berakibat makin menurunnya persentase fertilitas populasi vektor di lapang yang secara teoritis pada generasi ke-4 akan mencapai titik terendah menjadi 0% atau jumlah populasi serangga pada generasi ke-5 menjadi nihil [9]. Selain digunakan untuk dalam pemandulan vektor, teknik nuklir juga bisa digunakan sebagai penanda vektor. Karena salah satu sifat radioisotop (seperti P-32) dapat memancarkan sinar radioaktif, sehingga dipakai sebagai penanda nyamuk Anopheles sp. di lapangan, sementara cara penandaan dengan teknik lain dianggap sangat suilit mengingat tubuh nyamuk terlalu rapuh serta stadium larva dan pupa yang hidup di air.
Penandaan serangga dianggap penting terutama utuk mempelajari bionomik nyamuk di lapangan, seperti jarak terbang, pola pemencaran, umur nyamuk, pemilihan hospes, siklus gonotrofi dan aspek bionomik yang lain.
Pelaksanaan TSM dapat dilakukan dengan 2 metoda [10] yaitu:
1. Metoda yang meliputi pembiakan massal di laboratorium, pemandulan dan pelepasan serangga mandul ke lapangan.
2. Metoda pemandulan langsung terhadap serangga di lapangan.
Metoda pertama menerangkan bahwa jika ke dalam suatu populasi serangga di lapangan dilepaskan serangga mandul, maka kemampuan populasi tersebut untuk berkembang biak akan menurun. Apabila nilai kemandulan serangga radiasi mencapai 100% dan daya saing kawinnya mencapai nilai 1,0 (sama dengan jantan normal) dan jumlah serangga radiasi yang dilepas sama dengan jumlah serangga normal (perbandingan 1:1), maka kemampuan berkembang biak populasi tersebut akan turun sebesar 50%. Jika perbandingan tersebut dinaikkan menjadi 9:1 (jumlah serangga radiasi yang dilepas 9 kali dari jumlah serangga lapangan), maka kemampuan populasi tersebut untuk berkembang biak akan turun sebesar 90%.
Metoda kedua, yaitu metoda tanpa pelepasan serangga yang dimandulkan. Metoda ini dilaksanakan dengan prinsip pemandulan langsung terhadap serangga lapangan yang dapat dilakukan dengan menggunakan senyawa kemosterilan, baik pada jantan maupun betina. Dengan metoda kedua ini akan diperoleh dua macam pengaruh terhadap kemampuan kembangbiak populasi serangga. Kedua pengaruh tersebut adalah mandulnya sebagian serangga lapangan sebagai akibat langsung dari kemosterilan dan pengaruh berikutnya dari serangga yang telah mandul terhadap serangga sisanya yang masih fertil. Kemosterilan merupakan senyawa kimia yang bersifat mutagenik dan karsinogenik pada hewan maupun manusia sehingga teknologi ini tidak direkomendasikan untuk pengendalian vektor.
Pengendalian vektor dengan cara konvensional menggunakan insektisida diketahui kurang efektif karena timbul fenomena resisitensi bahkan sering terjadi resistensi silang (cross resistancy) dan mengakitkan matinya flora maupun fauna non target, serta menimbulkan pencemaran kingkungan., sehingga mengurangi efektivitas pengendalian itu sendiri.
TEKNOLOGI NUKLIR UNTUK PEMANDULAN VEKTOR MALARIA
Salah satu cara pemandulan nyamuk/vektor adalah dengan cara radiasi ionisasi yang dikenakan pada salah satu stadium perkembangannya. Radiasi untuk pemandulan ini dapat menggunakan sinar gamma, sinar X atau neutron, namun dari ketiga sinar tersebut yang umum digunakan adalah sinar gamma. Sinar gamma dapat berasal dari Cobalt-60 yang mempunyai waktu paroh 3,5 tahun atau 137Cs dengan waktu paroh 30 tahun [11].
Untuk mendapatkan vektor mandul dengan radiasi maka perlakuan iradiasi paling tepat dilakukan pada stadium pupa, karena stadium ini merupakan tahap perkembangan dimana terjadi transformasi organ muda menjadi dewasa [12]. Kemandulan adalah ketidakmampuan suatu organisme untuk menghasilkan keturunan.
Gejala-gejala kemandulan akibat radiasi pada vektor dapat berupa:
- Berkurangnya produksi telur (betina) yang disebabkan karena tidak terjadinya proses oogenesis sehingga tidak terbentuk oogenia atau telur.
- Aspermia dapat menyebabkan kemandulan karena radiasi merusak spermatogenesis sehingga tidak terbentuk sperma (jantan).
- Inaktivasi sperma juga dapat menyebabkan kemandulan karena sperma tidak mampu bergerak untuk membuahi sel telur.
- Faktor penyebab kemandulan yang lain ialah ketidakmampuan kawin, hal ini karena radiasi merusak sel-sel somatik saluran genetalia interna sehingga tidak terjadi pembuahan sel telur.
- Mutasi lethal dominan, dalam hal ini inti sel telur atau inti sperma mengalami kerusakan sebagai akibat radiasi sehingga terjadi mutasi gen. Mutasi letal dominan tidak menghambat proses pembentukan gamet jantan maupun betina, dan zigot yang terjadi juga tidak dihambat, namun embrio akan mengalami kematian.
Prinsip dasar mekanisme kemandulan ini untuk selanjutnya dikembangkan sebagai dasar pengembangan teknik pengendalian vektor yang disebut Teknik Serangga Mandul.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa teknik nuklir sangat bermanfaat dalam pengendalian vektor penyakit malaria dengan Teknik Serangga Mandul dan merupakan teknik pengendalian yang sangat spesifik karena hanya berpengaruh pada spesies target, ramah lingkungan, tidak menimbulkan resistensi baik obat malaria maupun pestisida.
TSM merupakan merupakan teknik pengendalian vektor yang sangat efektif dan efisien, baik secara sendiri maupun terintregasi dengan teknik lain dan dalam pelaksanaannya akan lebih baik bila dikombinasikan dengan teknik pengendalian yang lain secara terpadu.
Oleh:
Siti Nurhayati
Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi – BATAN
Jalan Cinere Pasar Jumat, Jakarta – 12440
PO Box 7043 JKSKL, Jakarta – 12070
DAFTAR PUSTAKA
1. HARIJANTO, P.N., Malaria: Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi klinis dan Penanganan, EGC, 2000.
2. Molineaux L. The Epidemiology of Human Malaria as an explanation of its distribution, including some implications for its control. In: Wernsdorfer WH and Mc Gregor IA (eds) Principles and Practice of Malariology. Edinburgh: Churchill Livingstone, 1988 (II) : 913-989.
3. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001 UNICEF Indonesia 2000, Multiple Indicator Cluster Survey Report on the Education and Health of Mothers and Children.
4. Arbani, P.R. Rencana Pemberantasan Malaria di Indonesia Menjelang Tahun 2000. Kumpulan Makalah Simposium Malaria, Jakarta Simposium Malaria, Jakarta:Balai Penerbit FKUI, 1990.
5. Pedoman Survei Entomologi Malaria. DEPKES-RI. Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Dit.Jen.PPM&PL) 2001.
6. Pengembangan Gebrak Malaria di Indonesia : Rencana Strategis 2001-2005 berdasarkan 46.2 persen dari jumlah penduduk 1998
7. World Health Organization. The Use of Antimalarial Drugs. Report of a WHO Informal Consultation 13-17 November 2000. WHO/CDS/RBM/2001.33. Geneva. 2001a.
8. SUTRISNO, S. Status dan Pengembangan Teknik Nuklir untuk Pengendalian Hama di Indonesia. Buletin Batan. Nuklir Mengabdi Kemanusiaan. Badan Tenaga Nuklir Nasional 2004
9. La-CHANGE, L.E., SCHMITH, CH. and BUSHILAND, R.C., Radiation Induced Sterilization. Dalam: Kilgore, W.W., and Dout R.L. Pest Control : Biological and Physical and Selected Chemical Methods., hal 146-196. Academic Press, New York &
London, 1997.
10. KNIPLING, E.F., Possibilities of Insect Control or Eradication Through the Use of Sexuality Sterile, J. Econ. Entomol. 48, 459-462, 1955.
11. WHITE, R.D., KAMASKI, H., RALSTON, D.F., HUTT, R.B and PETERSON, H.D.V. Longevity and Reproduction of Codling Moth Irradiated with Cobalt-60 or Cesium 137. J. Econ. Entomol. 65, 692 – 697, 1972.
12. HOPER, G.H.S., Competitiveness of Gamma Sterilized Males of the Mediteranian Fruit Fly : Effect of Irradiating Pupae or Adult Stage and of Irradiating Pupae in Nitrogen. J. Econ. Entomol., 64, 464 -368, 1976.
0 komentar: